Masjid Merah Panjunan didirikan oleh salah satu putra Sultan Bagdad, yaitu Syarif Abdurrahman. Masjid yang didirikan pada tahun 1480 M ini, pada awalnya bernama al-Athyah yang berarti yang dikasihi. Pendirian Masjid Merah Panjunan lebih disebabkan oleh karena belum adanya Masjid Agung di wilayah Caruban selain sebuah tajug sederhana, yaitu Masjid Pejlagrahan yang sampai saat ini juga masih ada.
Selain itu, dapat dilihat juga adanya beberapa alasan lain yang melatarbelakangi pendirian Masjid Merah Panjunan. Fungsi politis juga ikut mewarnai pembangunan Masjid Merah Panjunan selain fungsi praktis tersebut di atas. Fungsi ekonomis dari pembangunan Masjid Merah Panjunan dapat dilihat dari keberadaannya di wilayah yang merupakan sentra produksi dan pemasaran gerabah, karena pada saat itu masjid merupakan tempat khalayak ramai berkumpul. Bahkan fungsi ini kemudian juga mempengaruhi nama wilayah sekaligus nama masjid ini yaitu Panjunan.
Wilayah Panjunan dan sekitarnya menjadi sentra perdagangan dalam wilayah Cirebon, kota perdagangan pantai yang sangat ramai saat itu, sehingga penduduknya berasal dari berbagai macam suku bangsa. Berangkat dari asumsi bahwa masjid sebagai bangunan publik sehingga menjadi cerminan kebudayaan publik yang memilikinya dan realitas dari wujud fisik bangunan Masjid Merah Panjunan memperlihatkan adanya perpaduan budaya dan agama masyarakatnya dalam wujud akulturasi.
Proses akulturasi di Indonesia sudah terjadi semenjak masa pra-Islam, yaitu Budha dan Hindu. Agama Hindu datang ke Indonesia dibawa oleh bangsa India. Setelah kedatangan agama Hindu dan Budha ke Indonesia, datanglah agama Islam. Agama-agama tersebut kemudian bertemu dan mengadakan kontak secara terus-menerus. Akhirnya terjadilah akulturasi antara kedua agama tersebut.
Wujud akulturasi tersebut dapat dilihat dari adanya unsur-unsur budaya yang ada pada arsitektur Masjid Merah Panjunan. Jika menggunakan agama dan asal sebagai agen pengaruh budaya maka unsur-unsur akulturasi tersebut adalah sebagai berikut.
1. Unsur budaya Islam; Selain jelas dari wujud fisik dan fungsi praktis dari masjid ini yaitu sebagai bangunan peribadatan umat Islam, maka dapat dilihat lebih terperinci juga unsur-unsur khas yang berasal dari pengaruh Islam. Unsur budaya Islam dapat kita lihat pada mimbar, mihrab, tempat wudlu, dan beberapa ragam hias kaligrafi yang terlihat di tiang dan blandar.
2. Unsur budaya Jawa; Unsur budaya Jawa masih sangat terlihat dalam arsitektur Masjid Merah Panjunan ini yaitu dari jenis bangunannya yang jelas menggunakan arsitektur Jawa yaitu tajug dan limasan. Selain itu juga dapat dilihat dari pola konstruksi dan susunan arsitekturalnya.
3. Unsur budaya Cina; Pengaruh dari Cina juga ditemukan pada Masjid Merah Panjunan ini yang dapat dilihat dari penggunaan beberapa keramik produksi Cina untuk hiasan tempel, dan penggunaan bahan sirap seperti pada bangunan khas Cina.
4. Unsur budaya Hindu; Unsur budaya Hindu secara eksplisit tidak banyak dapat dilihat secara langsung pada wujud fisik bangunannya, tetapi jika dikaitkan dengan makna-makna filosofis dan simbol-simbol yang ada pada Masjid Merah Panjunan, masih dapat ditemukan adanya kelanjutan-kelanjutan pemakaian makna filosofis Hindu yang kemudian disesuaikan dengan ajaran Islam.
5. Unsur budaya Eropa; Unsur budaya Eropa dalam arsitektur Masjid Merah Panjunan dapat kita lihat dengan jelas pada keramik-keramik produksi Eropa, khususnya Belanda. Unsur-unsur tersebut diatas, semuanya disusun dan diterapkan sedemikian rupa sesuai dengan selera estetika pada jamannya. Selera jaman yang saat itu juga sudah dipengaruhi oleh aktivitas perdagangan orang-orang Eropa kemudian juga mempengaruhi estetika akulturatif di atas.
Kamis, 21 April 2011
MASJID MERAH PANJUNAN CIREBON
Masjid Merah Panjunan didirikan oleh salah satu putra Sultan Bagdad, yaitu Syarif Abdurrahman. Masjid yang didirikan pada tahun 1480 M ini, pada awalnya bernama al-Athyah yang berarti yang dikasihi. Pendirian Masjid Merah Panjunan lebih disebabkan oleh karena belum adanya Masjid Agung di wilayah Caruban selain sebuah tajug sederhana, yaitu Masjid Pejlagrahan yang sampai saat ini juga masih ada.
Selain itu, dapat dilihat juga adanya beberapa alasan lain yang melatarbelakangi pendirian Masjid Merah Panjunan. Fungsi politis juga ikut mewarnai pembangunan Masjid Merah Panjunan selain fungsi praktis tersebut di atas. Fungsi ekonomis dari pembangunan Masjid Merah Panjunan dapat dilihat dari keberadaannya di wilayah yang merupakan sentra produksi dan pemasaran gerabah, karena pada saat itu masjid merupakan tempat khalayak ramai berkumpul. Bahkan fungsi ini kemudian juga mempengaruhi nama wilayah sekaligus nama masjid ini yaitu Panjunan.
Wilayah Panjunan dan sekitarnya menjadi sentra perdagangan dalam wilayah Cirebon, kota perdagangan pantai yang sangat ramai saat itu, sehingga penduduknya berasal dari berbagai macam suku bangsa. Berangkat dari asumsi bahwa masjid sebagai bangunan publik sehingga menjadi cerminan kebudayaan publik yang memilikinya dan realitas dari wujud fisik bangunan Masjid Merah Panjunan memperlihatkan adanya perpaduan budaya dan agama masyarakatnya dalam wujud akulturasi.
Proses akulturasi di Indonesia sudah terjadi semenjak masa pra-Islam, yaitu Budha dan Hindu. Agama Hindu datang ke Indonesia dibawa oleh bangsa India. Setelah kedatangan agama Hindu dan Budha ke Indonesia, datanglah agama Islam. Agama-agama tersebut kemudian bertemu dan mengadakan kontak secara terus-menerus. Akhirnya terjadilah akulturasi antara kedua agama tersebut.
Wujud akulturasi tersebut dapat dilihat dari adanya unsur-unsur budaya yang ada pada arsitektur Masjid Merah Panjunan. Jika menggunakan agama dan asal sebagai agen pengaruh budaya maka unsur-unsur akulturasi tersebut adalah sebagai berikut.
1. Unsur budaya Islam; Selain jelas dari wujud fisik dan fungsi praktis dari masjid ini yaitu sebagai bangunan peribadatan umat Islam, maka dapat dilihat lebih terperinci juga unsur-unsur khas yang berasal dari pengaruh Islam. Unsur budaya Islam dapat kita lihat pada mimbar, mihrab, tempat wudlu, dan beberapa ragam hias kaligrafi yang terlihat di tiang dan blandar.
2. Unsur budaya Jawa; Unsur budaya Jawa masih sangat terlihat dalam arsitektur Masjid Merah Panjunan ini yaitu dari jenis bangunannya yang jelas menggunakan arsitektur Jawa yaitu tajug dan limasan. Selain itu juga dapat dilihat dari pola konstruksi dan susunan arsitekturalnya.
3. Unsur budaya Cina; Pengaruh dari Cina juga ditemukan pada Masjid Merah Panjunan ini yang dapat dilihat dari penggunaan beberapa keramik produksi Cina untuk hiasan tempel, dan penggunaan bahan sirap seperti pada bangunan khas Cina.
4. Unsur budaya Hindu; Unsur budaya Hindu secara eksplisit tidak banyak dapat dilihat secara langsung pada wujud fisik bangunannya, tetapi jika dikaitkan dengan makna-makna filosofis dan simbol-simbol yang ada pada Masjid Merah Panjunan, masih dapat ditemukan adanya kelanjutan-kelanjutan pemakaian makna filosofis Hindu yang kemudian disesuaikan dengan ajaran Islam.
5. Unsur budaya Eropa; Unsur budaya Eropa dalam arsitektur Masjid Merah Panjunan dapat kita lihat dengan jelas pada keramik-keramik produksi Eropa, khususnya Belanda. Unsur-unsur tersebut diatas, semuanya disusun dan diterapkan sedemikian rupa sesuai dengan selera estetika pada jamannya. Selera jaman yang saat itu juga sudah dipengaruhi oleh aktivitas perdagangan orang-orang Eropa kemudian juga mempengaruhi estetika akulturatif di atas.
Selain itu, dapat dilihat juga adanya beberapa alasan lain yang melatarbelakangi pendirian Masjid Merah Panjunan. Fungsi politis juga ikut mewarnai pembangunan Masjid Merah Panjunan selain fungsi praktis tersebut di atas. Fungsi ekonomis dari pembangunan Masjid Merah Panjunan dapat dilihat dari keberadaannya di wilayah yang merupakan sentra produksi dan pemasaran gerabah, karena pada saat itu masjid merupakan tempat khalayak ramai berkumpul. Bahkan fungsi ini kemudian juga mempengaruhi nama wilayah sekaligus nama masjid ini yaitu Panjunan.
Wilayah Panjunan dan sekitarnya menjadi sentra perdagangan dalam wilayah Cirebon, kota perdagangan pantai yang sangat ramai saat itu, sehingga penduduknya berasal dari berbagai macam suku bangsa. Berangkat dari asumsi bahwa masjid sebagai bangunan publik sehingga menjadi cerminan kebudayaan publik yang memilikinya dan realitas dari wujud fisik bangunan Masjid Merah Panjunan memperlihatkan adanya perpaduan budaya dan agama masyarakatnya dalam wujud akulturasi.
Proses akulturasi di Indonesia sudah terjadi semenjak masa pra-Islam, yaitu Budha dan Hindu. Agama Hindu datang ke Indonesia dibawa oleh bangsa India. Setelah kedatangan agama Hindu dan Budha ke Indonesia, datanglah agama Islam. Agama-agama tersebut kemudian bertemu dan mengadakan kontak secara terus-menerus. Akhirnya terjadilah akulturasi antara kedua agama tersebut.
Wujud akulturasi tersebut dapat dilihat dari adanya unsur-unsur budaya yang ada pada arsitektur Masjid Merah Panjunan. Jika menggunakan agama dan asal sebagai agen pengaruh budaya maka unsur-unsur akulturasi tersebut adalah sebagai berikut.
1. Unsur budaya Islam; Selain jelas dari wujud fisik dan fungsi praktis dari masjid ini yaitu sebagai bangunan peribadatan umat Islam, maka dapat dilihat lebih terperinci juga unsur-unsur khas yang berasal dari pengaruh Islam. Unsur budaya Islam dapat kita lihat pada mimbar, mihrab, tempat wudlu, dan beberapa ragam hias kaligrafi yang terlihat di tiang dan blandar.
2. Unsur budaya Jawa; Unsur budaya Jawa masih sangat terlihat dalam arsitektur Masjid Merah Panjunan ini yaitu dari jenis bangunannya yang jelas menggunakan arsitektur Jawa yaitu tajug dan limasan. Selain itu juga dapat dilihat dari pola konstruksi dan susunan arsitekturalnya.
3. Unsur budaya Cina; Pengaruh dari Cina juga ditemukan pada Masjid Merah Panjunan ini yang dapat dilihat dari penggunaan beberapa keramik produksi Cina untuk hiasan tempel, dan penggunaan bahan sirap seperti pada bangunan khas Cina.
4. Unsur budaya Hindu; Unsur budaya Hindu secara eksplisit tidak banyak dapat dilihat secara langsung pada wujud fisik bangunannya, tetapi jika dikaitkan dengan makna-makna filosofis dan simbol-simbol yang ada pada Masjid Merah Panjunan, masih dapat ditemukan adanya kelanjutan-kelanjutan pemakaian makna filosofis Hindu yang kemudian disesuaikan dengan ajaran Islam.
5. Unsur budaya Eropa; Unsur budaya Eropa dalam arsitektur Masjid Merah Panjunan dapat kita lihat dengan jelas pada keramik-keramik produksi Eropa, khususnya Belanda. Unsur-unsur tersebut diatas, semuanya disusun dan diterapkan sedemikian rupa sesuai dengan selera estetika pada jamannya. Selera jaman yang saat itu juga sudah dipengaruhi oleh aktivitas perdagangan orang-orang Eropa kemudian juga mempengaruhi estetika akulturatif di atas.
Langganan:
Postingan (Atom)